HUKUM DAN KODE ETIK KESEHATAN


HUKUM KESEHATAN


I. Pendahuluan
Dalam era reformasi saat ini, hukum memegang peran penting dalam berbagai segi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi setiap orang, yang merupakan bagian integral dari kesejahteraan, diperlukan dukungan hukum bagi penyelenggaraan berbagai kegiatan di bidang kesehatan.

Perubahan konsep pemikiran penyelenggaraan pembangunan kesehatan tidak dapat dielakkan. Pada awalnya pembangunan kesehatan bertumpu pada upaya pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan, bergeser pada penyelenggaraan upaya kesehatan yang menyeluruh dengan penekanan pada upaya pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan. Paradigma ini dikenal dalam kalangan kesehatan sebagai paradigma sehat.

Sebagai konsekuensi logis dari diterimanya paradigma sehat maka segala kegiatan apapun harus berorientasi pada wawasan kesehatan, tetap dilakukannya pemeliharaan dan peningkatan kualitas individu, keluarga dan masyarakat serta lingkungan dan secara terus menerus memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata, dan terjangkau serta mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat.

Secara ringkas untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi setiap orang maka harus secara terus menerus dilakukan perhatian yang sungguh-sungguh bagi penyelenggaraan pembangunan nasional yang berwawasan kesehatan, adanya jaminan atas pemeliharaan kesehatan, ditingkatkannya profesionalisme dan dilakukannya desentralisasi bidang kesehatan.

Kegiatan-kegiatan tersebut sudah barang tentu memerlukan perangkat hukum kesehatan yang memadai. Perangkat hukum kesehatan yang memadai dimaksudkan agar adanya kepastian hukum dan perlindungan yang menyeluruh baik bagi penyelenggara upaya kesehatan maupun masyarakat penerima pelayanan kesehatan.Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah yang dimaksud dengan hukum kesehatan, apa yang menjadi landasan hukum kesehatan, materi muatan peraturan perundang-undangan bidang kesehatan, dan hukum kesehatan di masa mendatang.Diharapkan jawaban atas pertanyaan tersebut dapat memberikan sumbangan pemikiran, baik secara teoritikal maupun praktikal terhadap keberadaan hukum kesehatan. Untuk itu dilakukan kajian normatif, kajian yang mengacu pada hukum sebagai norma dengan pembatasan pada masalah kesehatan secara umum melalui tradisi keilmuan hukum.

Dalam hubungan ini hukum kesehatan yang dikaji dibagi dalam 3 (tiga) kelompok sesuai dengan tiga lapisan ilmu hukum yaitu dogmatik hukum, teori hukum, dan filsafat hukum. Selanjutnya untuk memecahkan isu hukum, pertanyaan hukum yang timbul maka digunakan pendekatan konseptual, statuta, historis, dogmatik, dan komparatif. Namun adanya keterbatasan waktu maka kajian ini dibatasi hanya melihat peraturan perundang-undangan bidang kesehatan.
II. Batasan dan Lingkup Hukum Kesehatan

Van der Mijn di dalam makalahnya menyatakan bahwa, “…health law as the body of rules that relates directly to the care of health as well as the applications of general civil, criminal, and administrative law”.(1)
Lebih luas apa yang dikatakan Van der Mijn adalah pengertian yang diberikan Leenen bahwa hukum kesehatan adalah “…. het geheel van rechtsregels, dat rechtstreeks bettrekking heft op de zorg voor de gezondheid en de toepassing van overig burgelijk, administratief en strafrecht in dat verband. Dit geheel van rechtsregels omvat niet alleen wettelijk recht en internationale regelingen, maar ook internationale richtlijnen gewoonterecht en jurisprudenterecht, terwijl ook wetenschap en literatuur bronnen van recht kunnen zijn”.
Dari apa yang dirumuskan Leenen tersebut memberikan kejelasan tentang apa yang dimaksudkan dengan cabang baru dalam ilmu hukum, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan (zorg voor de gezondheid). Rumusan tersebut dapat berlaku secara universal di semua negara. Dikatakan demikian karena tidak hanya bertumpu pada peraturan perundang-undangan saja tetapi mencakup kesepakatan/peraturan internasional, asas-asas yang berlaku secara internasional, kebiasaan, yurisprudensi, dan doktrin.Di sini dapat dilukiskan bahwa sumber hukum dalam hukum kesehatan meliputi hukum tertulis, yurisprudensi, dan doktrin. Dilihat dari objeknya, maka hukum kesehatan mencakup segala aspek yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan (zorg voor de gezondheid).

Dengan demikian dapat dibayangkan bahwa hukum kesehatan cukup luas dan kompleks. Jayasuriya mengidentifikasikan ada 30 (tiga puluh) jenis peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kesehatan.(3)
Secara umum dari lingkup hukum kesehatan tersebut, materi muatan yang dikandung didalamnya pada asasnya adalah memberikan perlindungan kepada individu, masyarakat, dan memfasilitasi penyelenggaraan upaya kesehatan agar tujuan kesehatan dapat tercapai. Jayasuriya bertolak dari materi muatan yang mengatur masalah kesehatan menyatakan ada 5 (lima) fungsi yang mendasar, yaitu pemberian hak, penyediaan perlindungan, peningkatan kesehatan, pembiayaan kesehatan, dan penilaian terhadap kuantitas dan kualitas dalam pemeliharaan kesehatan.(4)
Dalam perjalanannya diingatkan oleh Pinet bahwa untuk mewujudkan kesehatan untuk

III. Landasan Hukum Kesehatan
Hermien Hadiati Koeswadji menyatakan pada asasnya hukum kesehatan bertumpu pada hak atas pemeliharaan kesehatan sebagai hak dasar social (the right to health care) yang ditopang oleh 2 (dua) hak dasar individual yang terdiri dari hak atas informasi (the right to information) dan hak untuk menentukan nasib sendiri (the right of self determination).

Sejalan dengan hal tersebut Roscam Abing mentautkan hukum kesehatan dengan hak untuk sehat dengan menyatakan bahwa hak atas pemeliharaan kesehatan mencakup berbagai aspek yang merefleksikan pemberian perlindungan dan pemberian fasilitas dalam pelaksanaannya. Untuk merealisasikan hak atas pemeliharaan bisa juga mengandung pelaksanaan hak untuk hidup, hak atas privasi, dan hak untuk memperoleh informasi.
Demikian juga Leenen secara khusus, menguraikan secara rinci tentang segala hak dasar manusia yang merupakan dasar bagi hukum kesehatan.

IV. Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan Bidang Kesehatan
Sebenarnya dalam kajian ini akan disajikan menyangkut seluruh lingkup hukum kesehatan, namun keterbatasan waktu, maka penyajian dibatasi pada materi muatan peraturan perundang-undangan bidang kesehatan. Segala sesuatu yang berkaitan dengan kesehatan seringkali dikatakan sebagian masyarakat kesehatan dengan ucapan saratnya peraturan. Peraturan dimaksud dapat berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku umum dan berbagai ketentuan internal bagi profesi dan asosiasi kesehatan. Agar diperoleh gambaran yang lebih menyeluruh maka digunakan susunan 3 (tiga) komponen dalam suatu sistem hukum seperti yang dikemukakan Schuyt.(9) Ketiga komponen dimaksud adalah keseluruhan peraturan, norma dan ketetapan yang dilukiskan sebagai sistem pengertian, betekenissysteem, keseluruhan organisasi dan lembaga yang mengemban fungsi dalam melakukan tugasnya, organisaties instellingen dan keseluruhan ketetapan dan penanganan secara konkret telah diambil dan dilakukan oleh subjek dalam komponen kedua, beslisingen en handelingen.

Dalam komponen pertama yang dimaksudkan adalah seluruh peraturan, norma dan prinsip yang ada dalam penyelenggaraan kegiatan di bidang kesehatan. Bertolak dari hal tersebut dapat diklasifikasikan ada 2 (dua) bentuk, yaitu ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh penguasa dan ketentuan yang dibuat oleh organisasi profesi dan asosiasi kesehatan. Hubungan antara keduanya adalah ketentuan yang dibuat oleh organisasi profesi dan asosiasi kesehatan serta sarana kesehatan hanya mengikat ke dalam dan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang dibuat oleh penguasa. Menurut inventarisasi yang dilakukan terhadap ketentuan yang dikeluarkan penguasa dalam bentuk peraturan perundang-undangan terdapat 2 (dua) kategori, yaitu yang bersifat menetapkan dan yang bersifat mengatur.
Dari sudut pandang materi muatan yang ada dapat dikatakan mengandung 4 (empat) obyek, yaitu:
1. Pengaturan yang berkaitan dengan upaya kesehatan;
2. Pengaturan yang berkaitan dengan tenaga kesehatan;
3. Pengaturan yang berkaitan dengan sarana kesehatan;
4. Pengaturan yang berkaitan dengan komoditi kesehatan.

Apabila diperhatikan dari ketentuan tersebut terkandung prinsip perikemanusiaan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan, adil dan merata, perikehidupan dalam keseimbangan dan kepercayaan pada kemampuan dan kekuatan sendiri.

Selanjutnya dari ketentuan yang ada dalam keputusan dan peraturan yang dibuat oleh organisasi profesi dan asosiasi bidang kesehatan serta sarana kesehatan adalah mencakup kode etik profesi, kode etik usaha dan berbagai standar yang harus dilakukan  dalam penyelenggaraan upaya kesehatan.

Apabila diperhatikan prinsip-prinsip yang dikandung dalam ketentuan ini mencakup 4 (empat) prinsip dasar, yaitu autonomy, beneficence, non maleficence dan justice.Sebelum memasuki komponen kedua, perlu dibahas terlebih dahulu komponen ketiga mengenai intervensi yang berupa penanganan yang dilakukan berdasarkan ketentuan yang diatur. Komponen ini merupakan aktualisasi terhadap komponen ideal yang ada dalam komponen pertama.
Bila diperhatikan isi ketentuan yang ada dimana diperlukan penanganan terdapat 4 (empat) sifat, yaitu:
1. Perintah (gebod) yang merupakan kewajiban umum untuk melakukan sesuatu;
2. Larangan (verbod) yang merupakan kewajiban umum untuk tidak melakukan sesuatu;
3. Pembebasan (vrijstelling, dispensatie) berupa pembolehan khusus untuk tidak melakukan sesuatu yang secara umum diharuskan.
4. Izin (toesteming, permissie) berupa pembolehan khusus untuk melakukan sesuatu yang secara umum dilarang

Tindakan penanganan yang dilakukan apakah sudah benar atau tidak, kiranya dapat diukur dengan tatanan hukum seperti yang dikemukakan oleh Nonet dan Selznick, yaitu apakah masih bersifat represif, otonomous atau responsive.(13)
Selanjutnya dengan komponen kedua tentang organisasi yang ada dalam penyelenggaraan upaya kesehatan dapat dibagi dalam 2 (dua) bagian besar yaitu organisasi pemerintah dan organisasi / badan swasta.

Pada organisasi pemerintah mencakup aparatur pusat dan daerah serta departemen dan lembaga pemerintah non departemen. Pada sektor swasta terdapat berbagai organisasi profesi, asosiasi dan sarana kesehatan yang mempunyai tugas dan fungsi di bidang kesehatan.
Dari susunan dalam 3 (tiga) komponen tersebut secara global menurut Schuyt bahwa tujuan yang ingin dicapat adalah (14):
1. Penyelenggaraan ketertiban sosial;
2. Pencegahan dari konflik yang tidak menyenangkan;
3. Jaminan pertumbuhan dan kemandirian penduduk secara individual;
4. Penyelenggaraan pembagian tugas dari berbagai peristiwa yang baik dalam masyarakat;
5. Kanalisasi perubahan sosial.

V. Hukum Kesehatan di Masa Mendatang

Hermien Hadiati Koeswadji mencatat bahwa dari apa yang telah digariskan dalam peraturan perundang-undangan yang ada perlu terus ditingkatkan untuk (15):
1. Membudayakan perilaku hidup sehat dan penggunaan pelayanan kesehatan secara wajar untuk seluruh masyarakat;
2. Mengutamakan upaya peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit;
3. Mendorong kemandirian masyarakat dalam memilih dan membiayai pelayanan kesehatan yang diperlukan;
4. Memberikan jaminan kepada setiap penduduk untuk mendapatkan pemeliharaan kesehatan;
5. Mengendalikan biaya kesehatan;
6. Memelihara adanya hubungan yang baik antara masyarakat dengan penyedia pelayanan kesehatan;
7. Meningkatkan kerjasama antara upaya kesehatan yang dilakukan pemerintah dan masyarakat melalui suatu bentuk pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat yang secara efisien, efektif dan bermutu serta terjangkau oleh masyarakat.

Untuk itu dukungan hukum tetap dan terus diperlukan melalui berbagai kegiatan untuk menciptakan perangkat hukum baru, memperkuat terhadap tatanan hukum yang telah ada dan memperjelas lingkup terhadap tatanan hukum yang telah ada.
Beberapa hal yang perlu dicatat disini adalah yang berkaitan dengan:
1. Eksistensi Badan Pertimbangan Kesehatan Nasional yang telah ada harus diperkuat dan harus merupakan organisasi yang independen sehingga dapat memberikan pertimbangan lebih akurat;
2. Perlu dibangun keberadaan Konsil untuk tenaga kesehatan dimana lembaga tersebut merupakan lembaga yang berwenang untuk melakukan pengaturan berbagai standar yang harus dipenuhi oleh tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan.
Dalam dunia kedokteran dan kedokteran gigi telah dibentuk Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran;
3. Perlu dibangun lembaga registrasi tenaga kesehatan dalam upaya untuk menilai kemampuan profesional yang dimiliki tenaga kesehatan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan. Bagi tenaga dokter dan dokter gigi peranan Konsil Kedokteran Indonesia dan organisasi profesi serta Departemen Kesehatan menjadi penting;
4. Perlu dikaji adanya lembaga Peradilan Disiplin Profesi Tenaga Kesehatan. Dimana untuk tenaga medis telah dibentuk Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004;
5. Perlu dibangun lembaga untuk akreditasi berbagai sarana kesehatan.semua, diidentifikasikan faktor determinan yang mempengaruhi sekurang-kurangnya mencakup, “... biological, behavioral, environmental, health system, socio economic, socio cultural, aging the population, science and technology, information and communication, gender, equity and social justice and human rights”.


.

 

 

 

 

Kode Etik Kesehatan

Saat ini banyak dok­ter yang juga seorang narablog, mung­kin tidak hanya dok­ter, namun per­awat, ahli gizi dan tenaga kesehatan lain­nya. Lalu apakah seorang dok­ter yang men­jadi narablog bisa bebas ber­eksp­resi, yah…, mung­kin saja demikian jika blog ter­sebut adalah blog pribadi — tidak ber­kaitan dengan dunia medis. Jika ber­kaitan dengan dunia medis, ada beberapa hal yang selayak­nya diindahkan.
Ada beberapa etika yang selayak­nya ber­ada dalam ranah yang tepat, walau mung­kin belum ada kesepakatan yang resmi di bagaimana hal ini di ataur di Indonesia. Narablog Dani Iswara per­nah meng­ulas­nya dalam tulisan “Narablog Dok­ter sudah Punya Etika”.
Kali ini mari kita mem­bahas sedikit aspek kode etik dunia narablog kedok­teran yang saya kutip dari: Heal­thcare Blog­ger Code of Ethics.
  1. Jelas rep­resen­tasi per­s­pek­tif­nya. Pem­baca harus bisa meng­enali dan memahami ting­kat pelatihan, ketram­pilan, bidang kedokteran/kesehatan dan keseluruhan per­s­pek­tif penulis blog. Beberapa narablog mung­kin memiliki pendapat-pendapat di luar ranah keah­lian mereka, dan pendapat-pendapat ini bisa jadi benar, namun pem­baca harus diberikan sebuah lokasi di dalam blog melihat asal usul penulis­nya. Ini juga harus meliputi pem­bedaan antara mana isi blog dan mana iklan di dalam blog. Hal ini tidak meng­halangi aktivitas menulis blog secara anonim, namun meminta bahkan bagi narablog anonim untuk ber­bagi per­s­pek­tif profesio­nal dari apa yang mereka tuangkan dalam blog.
  2. Kerahasiaan. Narablog harus meng­hor­mati sifat hubungan kerahasiaan antara pasien dan profesio­nal medis dan kejelasan akan per­lunya kerahasiaan. Segala dis­kusi meng­enai pasien harus dilakukan dalam sebuah cara sedemikian hingga iden­titas pasien ter­samarkan atau tidak dapat diung­kapkan. Nama pasien hanya dapat diung­kapkan sesuai dengan aturan dan etika medis yang ber­laku di suatu negara yang ber­kesesuaian dengan kepen­tingan tersebut.
  3. Per­nyataan Ber­kaitan Komer­sial. Ada dan tidak­nya ikatan-ikatan komer­sial akan penulis blog harus dibuat jelas bagi pem­baca. Jika penulis meng­gunakan blog­nya untuk memp­romosikan suatu produk maka itu harus dibuat jelas agar pem­baca memaha bahwa penulis melakukan itu. Ikatan-ikatan apa pun pada peng­hasil per­ang­kat dan/atau per­usahaan far­masi harus dinyatakan secara jelas.
  4. Kean­dalan Infor­masi. Meng­utip sum­ber ketika hal ini tepat dilakukan dan mem­per­baiki ketidak­tepatan ketika hal ter­sebut bisa ditunjukkan.
  5. Kesopanan. Narablog tidak selayak­nya ter­libat dalam per­seteruan pribadi, tidak juga selayak­nya mem­biarkan para pem­beri tang­gapan (komen­tator) melakukan hal-hal ter­sebut. Dis­kusi dan debat akan ide-ide ter­tentu memang merupakan salah satu tujuan utama hadir­nya blog. Ketika ide-ide yang dipegang seseorang layak atau mesti dik­ritisi bahkan diar­gumen­tasi lebih dalam, maka seluruh ranah dis­kusi adalah pen­dis­kusian ide-ide ter­sebut, bukan mereka atau orang-orang yang memegang ide tersebut.
Jadi secara sing­kat kode etik profesi kedok­teran seorang narablog dapat dikatakan meliputi ranah bidang kedok­teran seorang narablog (hal ini men­jawab per­tanyaan pem­baca siapa Anda? — secara jelas), kemudian ranah kerahasiaan medis (di dalam­nya menyang­kut ten­tang rahasia medis, rahasia jabatan, aturan rekam medis dan seba­gainya) yang men­jamin kerahasiaan iden­titas pasien sepenuh­nya. Aspek ber­ikut­nya adalah kepen­tingan komer­sial, sehingga per­tanyaan apakah ini tulisan murni tulisan profesi ataukah ter­ikat dengan kepen­tingan komer­sial ter­tentu harus jelas bagi pem­baca. Infor­masi yang diberikan seorang narablog dok­ter harus jelas dan andal, menyer­takan sitasi atau pengutipan ke sumber-sumber yang valid, dan mem­per­baiki baik kon­ten maupun sitasi yang tidak tepat lagi. Dan ter­akhir, seorang narablog dok­ter harus tetap san­tun dan men­jaga kesan­tunan dalam ruang blognya.
Kode Etik
Etika dalam konteks profesi digariskan dengan apa yang disebut sebagai kode etik, yakni serangkaian aturan-aturan atau norma yang berisi tata laku atau pedoman dalam menjalankan suatu profesi tertentu. Seorang jurnalis, mempunyai kode etik yang disebut dengan kode etik jurnalistik. Demikian juga, seorang dokter, perawat atau perangkat lainnya memiliki kode etik profesi yang sering disebut dengan kode etik kedokteran yang wajib ditaati.
Banyak faktor yang mempengaruhi kode etik dalam bidang kesehatan, yang diantaranya kita bisa menyebut: tingkat kemajuan teknologi, ilmu pengetahuan yang berkembang demikian dinamis semisal: alat kedokteran yang bisa dipakai untuk memperpanjang usia, cangkok organ, legalisasi aborsi, teknik kloning, dsb. Hal-hal demikian patut direnungkan bersama karena jelas ada sisi-sisi kontradiktif dengan sistem etika yang terangkum dalam kode etik tadi.
Pertanyaannya, mana yang harus menjadi prioritas disaat kedua hal tadi bertemu dalam satu simpul dan mengharuskan untuk dipilih salah satu-satunya? Apakah tetap mempertahankan nilai etika kesehatan, atau mendahulukan hasil dari kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan sekalipun bertentangan dengan kode etik, atau diambil langkah lain yang bisa jadi merupakan kondisi tengah-tengah diantara keduanya?
Untuk itu paling tidak diperlukan perumusan etika kesehatan yang mengatur pola hubungan antara institusi kesehatan dengan sang pasien. Mungkin sebagai alternatif berikut beberapa diantaranya:
  1. Sistem paternalisme, yakni sikap membimbing, mengarahkan dan mengayomi dari institusi kesehatan kepada pasiennya.
  2. Sistem individualisme, yakni pasien-pasien mempunyai hak yang absolut terhadap nasib dan kehidupannya.
  3. Resiprokalisme, yakni adanya saling kerjasama antara pekerja kesehatan dengan pasien dan pihak keluarga.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer