MAKALAH PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Promosi kesehatan adalah suatu proses membantu
individu masyarakat meningkatkan kemampuan dan keterampilannya mengontrol
berbagai faktor yang berpengaruh pada kesehatan,sehigga dapat meningkatkan
derajat kesehatan nya (WHO).Menurut Green dan Kreuter (1991),promosi kesehatan
adalah kombinasi dari pendidikan kesehatan dan faktor-faktor organisasi,ekonomi
dan lingkungan yang seluruhnya mendukung terciptanya perilaku yang kondusif
terhadap kesehatan.Adapun yang dimaksud dengan perilaku kesehatan menurut Kasl dan
Cobb (1996) meliputi : a) perilaku pencegahan, b) perilaku sakit, dan c) perilaku
peran sakit.
Misi dari promosi kesehatan adalah advokasi,mediasi
dan pemberdayaan.Yang dimaksud dengan advokasi adalah upaya meyakinkan para
pengambil kebijakan agar memberikan dukungan berbentuk kebijakan terhadap suatu
program. Mediasi adalah upaya mengembangna jejaring atau kemitraan, lintas
program, lintas sector dan lintas institusi guna menggalang duungan bagi
implementasi program. Adapun pemberdayaan berarti upaya meningkatkan kemampuan
kelompok sasaran sehingga kelompok sasaran mampu mengembangkan tindakan tepat
atas berbagai permasalahan yang dialami.
Konsep pemberdayaan mengemukan sejak dicanangkannya
Strategi Global WHO tahun 1984, yang ditindaklanjuti dengan rencana aksi dalam
Piagam Ottawa (1986). Dalam deklarasi tersebut
dinyatakan tentang perlunya mendorong terciptanya: a. Kebijakan
berwawasan kesehatan, b. lingkungan yang mendukung, c. Reorentasi dalam
pelayanan kesehatan, d. Keterampilan individu, dan e. gerakan masyarakat.
Olehnya itu, untuk lebih jelasnya makalah ini akan membahas masalah
pemberdayaan masyarakat dalam konsep promosi kesehatan.
1.2
Rumusan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Pemberdayaan
Empowerment
yang dalam bahasa Indonesia berarti
“pemberdayaan”, adalah sebuah konsep yang lahir sebagai bagian dari
perkembangan alam pikiran masyarakat kebudayaan Barat, utamanya Eropa. Memahami
konsep empowerment secara tepat harus memahami latar belakang
kontekstual yang melahirkannya. Konsep empowerment mulai nampak sekitar
dekade 70-an dan terus berkembang hingga 1990-an. (Pranarka &
Vidhyandika,1996).
Pranarka
dan Vidhyandika (Hikmat, 2004) menjelaskan bahwa konsep pemberdayaan dapat
dipandang sebagai bagian atau sejiwa sedarah dengan aliran yang muncul pada
paruh abad ke-20 yang lebih dikenal sebagai aliran ostmodernisme. Aliran
ini menitikberatkan pada sikap dan pendapat yang berorientasi pada jargon
antisistem, antistruktur, dan antideterminisme yang diaplikasikan pada dunia kekuasaan.
Pemahaman konsep pemberdayaan oleh masing-masing individu secara selektif dan
kritis dirasa penting, karena konsep ini mempunyai akar historis dari
perkembangan alam pikiran masyarakat dan kebudayaan barat. Prijono Dan Pranarka
(1996) membagi dua fase penting untuk memahami akar konsep pemberdayaan, yakni:
pertama, lahirnya Eropa modern sebagai akibat dari dan reaksi terhadap
alam pemikiran, tata masyarakat dan tata budaya Abad Pertengahan Eropa yang
ditandai dengan gerakan pemikiran baru yang dikenal sebagai Aufklarung atau
Enlightenment, dan kedua, lahirnya aliran aliran pemikiran
eksistensialisme, phenomenologi, personalisme yang lebih dekat dengan gelombang
Neo-Marxisme, Freudianisme, strukturalisme dan sebagainya.
Perlu
upaya mengakulturasikan konsep pemberdayaan tersebut sesuai dengan alam pikiran
dan kebudayaan Indonesia. Perkembangan alam pikiran masyarakat dan kebudayaan
Barat diawali dengan proses penghilangan harkat dan martabat manusia
(dehumanisasi). Proses penghilangan harkat dan martabat manusia ini salah
satunya banyak dipengaruhi oleh kemajuan ekonomi dan teknologi yang nantinya
dipakai sebagai basis dasar dari kekuasaan (power).
Power
adalah kemampuan untuk mendapatkan atau
mewujudkan tujuan. Bachrach dan Baratz (1970) membuktikan bahwa power adalah
konsep rasional (rational concept). Dalam pandangan mereka, power yang
dilakukan A hanya dilakukan dalam hubungan individu atau kelompok B untuk
memenuhi kebutuhan. Pemenuhan kebutuhan yang diberikan oleh B yang rela
melakukan pilihan atas sanksi yang ada atau akan kehilangan sesuatu yang lebih
tinggi (kekuasaan atau uang). Ironisnya, kekuasaan itu kemudian membuat
bangunanbangunan yang cenderung manipulatif, termasuk sistem pengetahuan,
politik, hukum, ideologi dan religi. Akibat dari proses ini, manusia yang
berkuasa menghadapi manusia yang dikuasai. Dari sinilah muncul keinginan untuk
membangun masyarakat yang lebih manusiawi dan menghasilkan system alternatif
yang menemukan proses pemberdayaan. Sistem alternatif memerlukan proses “empowerwent
of the powerless.” Namun empowerment hanya akan mempunyai arti kalau
proses pemberdayaan menjadi bagian dan fungsi dari kebudayaan, yaitu
aktualisasi dan koaktualisasi eksistensi manusia dan bukan sebaliknya menjadi
hal yang destruktif bagi proses aktualisasi dan koaktualisasi eksistensi
manusia (Prijono Dan Pranarka, 1996).
Para
ilmuwan sosial dalam memberikan pengertian pemberdayaan mempunyai rumusan yang
berbeda-beda dalam berbagai konteks dan bidang kajian, artinya belum ada
definisi yang tegas mengenai konsep tersebut. Namun demikian, bila dilihat
secara lebih luas, pemberdayaan sering disamakan dengan perolehan daya,
kemampuan dan akses terhadap sumber daya untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh
karena itu, agar dapat memahami secara mendalam tentang pengertian pemberdayaan
maka perlu mengkaji beberapa pendapat para ilmuwan yang memiliki komitmen
terhadap pemberdayaan masyarakat.
Robinson
(1994) menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah suatu proses pribadi dan sosial;
suatu pembebasan kemampuan pribadi, kompetensi, kreatifitas dan kebebasan
bertindak. Ife (1995) mengemukakan bahwa pemberdayaan mengacu pada kata “empowerment,”
yang berarti memberi daya, member ”power” (kuasa), kekuatan, kepada
pihak yang kurang berdaya. Segala potensi yang dimiliki oleh pihak yang kurang
berdaya itu ditumbuhkan, diaktifkan, dikembangkan sehingga mereka memiliki
kekuatan untuk membangun dirinya. Pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan
masyarakat menekankan kemandirian masyarakat itu sebagai suatu sistem yang
mampu mengorganisir dirinya. Payne (1997) menjelaskan bahwa pemberdayaan
pada hakekatnya bertujuan untuk membantu klien mendapatkan daya, kekuatan dan
kemampuan untuk mengambil keputusan dan tindakan yang akan dilakukan dan
berhubungan dengan diri klien tersebut, termasuk mengurangi kendala pribadi dan
sosial dalam melakukan tindakan. Paul (1987) menyatakan bahwa pemberdayaan
berarti pembagian kekuasaan yang adil sehuingga meningkatkan kesadaran politis
kekuasaan kelompok yang lemah serta memperbesar pengaruh mereka terhadap proses
dan hasil-hasil pembangunan. Rappaport (1987) mengatakan bahwa pemberdayaan
diartikan sebagai pemahaman secara psikologis pengaruh kontrol individu
terhadap keadaan sosial, kekuatan politik dan hak-haknya. MacArdle (1989)
mengartikan pemberdayaan sebagai proses pengambilan keputusan oleh orang orang
secara konsekuen melaksanakan keputusan itu. Orang-orang yang telah mencapai
tujuan kolektif diberdayakan melalui kemandiriannya, bahkan merupakan
“keharusan” untuk lebih diberdayakan melalui usaha mereka sendiri dan akumulasi
pengetahuan, ketrampilan serta sumber lainnya dalam rangka mencapai tujuan
tanpa tergantung pada pertolongan dari hubungan eksternal.
Pemberdayaan
dapat diartikan sebagai suatu pelimpahan atau pemberian kekauatan (power) yang akan
menghasilkan hierarki kekuatan dan ketiadaan kekuatan, seperti yang dikemukakan
Simon (1990) dalam tulisannya tentang Rethinking Empowerment. Simon
menjelaskan bahwa pemberdayaan suatu aktivitas refleksi, suatu proses yang
mampu diinisiasikan dan dipertahankan hanya oleh agen atau subyek yang mencari
kekuatan atau penentuan diri sendiri (selfdetermination). Sementara
proses lainnya hanya dengan memberikan iklim, hubungan, sumber-sumber dan
alat-alat prosedural yang melaluinya masyarakat dapat meningkatkan
kehidupannya. Pemberdayaan merupakan sistem yang berinteraksi dengan lingkungan
sosial dan fisik. Dengan demikian pemberdayaan bukan merupakan upaya pemaksaan
kehendak, proses yang dipaksakan, kegiatan untuk kepentingan pemrakarsa dari
luar, keterlibatan dalam kegiatan tertentu saja,dan makna-makna lain yang tidak
sesuai dengan pendelegasian kekuasaan atau kekuatan sesuai potensi yang
dimiliki masyarakat.
Sulistiyani
(2004) menjelaskan lebih rinci bahwa secara etimologis pemberdayaan berasal
dari kata dasar "daya" yang berarti kekuatan atau kemampuan. Bertolak
dari pengertian tersebut, maka pemberdayaan dimaknai sebagai proses untuk
memperoleh daya, kekuatan atau kemampuan, dan atau proses pemberian daya,
kekuatan atau kemampuan dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang kurang
atau belum berdaya. Berdasarkan beberapa pengertian pemberdayaan yang
dikemukakan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya pemberdayaan
adalah suatu proses dan upaya untuk memperoleh atau memberikan daya, kekuatan
atau kemampuan kepada individu dan masyarakat lemah agar dapat
mengidentifikasi, menganalisis, menetapkan kebutuhan dan potensi serta masalah
yang dihadapi dan sekaligus memilih alternatif pemecahnya dengan mengoptimalkan
sumberdaya dan potensi yang dimiliki secara mandiri.
Pemberdayaan
sebagai proses menunjuk pada serangkaian tindakan yang dilakukan secara
sistematis dan mencerminkan pentahapan kegiatan atau upaya mengubah masyarakat
yang kurang atau belum berdaya, berkekuatan, dan berkemampuan menuju keberdayaan.
Makna "memperoleh" daya, kekuatan atau kemampuan menunjuk pada sumber
inisiatif dalam rangka mendapatkan atau meningkatkan daya, kekuatan atau
kemampuan sehingga memiliki keberdayaan. Kata "memperoleh"
mengindikasikan bahwa yang menjadi sumber inisiatif untuk berdaya berasal dari
masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, masyarakat harus menyadari akan
perlunya memperoleh daya atau kemampuan. Makna kata "pemberian"
menunjukkan bahwa sumber inisiatif bukan dari masyarakat. Inisiatif untuk
mengalihkan daya, kemampuan atau kekuatan adalah pihak-pihak lain yang memiliki
kekuatan dan kemampuan, misalnya pemerintah atau agen-agen pembangunan lainnya
.
2.2
Proses Pemberdayaan
Pranarka
& Vidhyandika (1996) menjelaskan bahwa ”proses pemberdayaan mengandung dua
kecenderungan. Pertama, proses pemberdayaan yang mene-kankan pada proses
memberikan atau mengalihkan sebagian kekuatan, kekuasaan atau kemampuan kepada
masyarakat agar individu lebih berdaya. Kecenderungan pertama tersebut dapat
disebut sebagai kecenderungan primer dari makna pemberdayaan. Sedangkan
kecenderungan kedua atau kecenderungan sekunder menekankan pada proses
menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau
keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses
dialog”.
Kartasasmita
(1995) menyatakan bahwa proses pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga proses
yaitu: Pertama: Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi
masyarakat berkembang (enabling). Titik tolaknya adalah bahwa setiap
manusia memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya tidak ada sumberdaya
manusia atau masyarakat tanpa daya. Dalam konteks ini, pemberdayaan adalah
membangun daya, kekuatan atau kemampuan, dengan mendorong (encourage)
dan membangkitkan kesadaran (awareness) akan potensi yang dimiliki serta
berupaya mengembangkannya. Kedua, memperkuat potensi atau daya yang
dimiliki oleh masyarakat (empo-wering), sehingga diperlukan langkah yang
lebih positif, selain dari iklim atau suasana. Ketiga, memberdayakan
juga mengandung arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang
lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurangberdayaannya dalam
menghadapi yang kuat.
Proses
pemberdayaan warga masyarakat diharapkan dapat menjadikan masyarakat menjadi
lebih berdaya berkekuatan dan berkamampuan. Kaitannya dengan indikator
masyarakat berdaya, Sumardjo (1999) menyebutkan ciri-ciri warga masyarakat
berdaya yaitu: (1) mampu memahami diri dan potensinya, mampu merencanakan
(mengantisipasi kondisi perubahan ke depan), (2) mampu mengarahkan dirinya
sendiri, (3) memiliki kekuatan untuk berunding, (4) memiliki bargaining
power yang memadai dalam melakukan kerjasama yang saling menguntungkan, dan
(5) bertanggungjawab atas tindakannya.
Slamet
(2003) menjelaskan lebih rinci bahwa yang dimaksud dengan masyarakat berdaya
adalah masyarakat yang tahu, mengerti, faham termotivasi, berkesempatan,
memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerjasama, tahu berbagai alternative,
mampu mengambil keputusan, berani mengambil resiko, mampu mencari dan menangkap
informasi dan mampu bertindak sesuai dengan situasi. Proses pemberdayaan yang
melahirkan masyarakat yang memiliki sifat seperti yang diharapkan harus
dilakukan secara berkesinambungan dengan mengoptimalkan partisipasi masyarakat
secara bertanggungjawab.
Adi
(2003) menyatakan bahwa meskipun proses pemberdayaan suatu masyarakat merupakan
suatu proses yang berkesinambungan, namun dalam implementasinya tidak semua
yang direncanakan dapat berjalan dengan mulus dalam pelaksanaannya. Tak jarang
ada kelompok-kelompok dalam komunitas yang
melakukan penolakan terhadap
”pembaharuan” ataupun inovasi yang muncul. Watson (Adi, 2003) menyatakan
beberapa kendala (hambatan) dalam pembangunan masyarakat, baik yang berasal
dari kepribadian individu maupun berasal dari sistem sosial:
a.
Berasal dari
Kepribadian Individu; kestabilan (Homeostatis), kebiasaan (Habit), seleksi
Ingatan dan Persepsi (Selective Perception and Retention), ketergantungan
(Depedence), Super-ego, yang terlalu kuat, cenderung membuat
seseorang tidak mau menerima pembaharuan, dan rasa tak percaya diri (self-
Distrust)
b.
Berasal dari Sistem
Sosial; kesepakatan terhadap norma tertentu (Conformity to Norms),
yang”mengikat” sebagian anggota masyarakat pada suatu komunitas tertentu,
kesatuan dan kepaduan sistem dan budaya (Systemic and Cultural Coherence),
kelompok kepentingan (vested Interest), hal yang bersifat sacral (The
Sacrosanct), dan penolakan terhadap ”Orang Luar” (Rejection of Outsiders)
2.3
Promosi
Kesehatan dan Pemberdayaan
Promosi kesehatan adalah suatu proses membantu individu
dan masyarakat meningkatkan kemampuan dan keterampilannya guna mengontrol
berbagai faktor yang berpengaruh pada kesehatan, sehingga dapat meningkatkan
derajat kesehatannya (WHO). Promosi kesehatan adalah kombinasi pendekatan
pendidikan kesehatan dan pendekatan organisasi, ekonomi, lingkungan yang
seluruhnya mendukung terciptanya perilaku yang kondusif dengan kesehatan (Mee
Lian,1998).
Hubley (2002) mengatakan, bahwa pemberdayaan
kesehatan (health empowerment), melek (sadar) kesehatan (health literacy) dan
promosi kesehatan (health promotion) diletakkan dalam kerangka pendekatan yang
komprehensif.Pemberdayaan didiskusikan dalam kerangka bagaimana mengembangkan
kemampuan penduduk untuk menolong didrinya sendiri (self-eficacy) dari teori
belajar sosial.
Freira (dalam Hubley 2002) mengatakan,bahwa pemberdayaan
adalah suatu proses dinamis yang dimulai dari dimana masyarakat belajar
langsung dari tindakan. Pemberdayaan masyarakat biasanya dilakukan dengan pendekatan
pengembangan masyarakat. Pengembangan masyarakat biasanya berisis bagaimana
masyarakat mengembangkan kemampuannya serta bagaimana masyarakat mengembangkan
kemampuannya serta bagaimana meningkatkan peran serta masyarakat dalam
pengambilan keputusan.
Apabila kerangka diatas ditelaah, maka yang dimaksud
dengan upaya pemberdayaan berarti serangkaian upaya untuk:
a. Self
efficacy , maka upaya yang dapat dilakukan adalah memberikan pendidikan
kesehatan yang terus menerus menggunakan beberapa metode yang cocok, kombinasi
komunikasi massa,komunikasi kelompok serta komunikasi interpersonal. Yang lain
adalah memberikan pelatihan tentang tindakan-tindakan yang diperlukan dalam
kesehatan, dalam upaya-upaya meningkatkan (promotif), upaya pencegahan
(preventif), upaya pengobatan (kuratif)
maupun upaya pemulihan (rehabilitatife) sehingga masyarakat mempunyai
kemampuan dan kepercayaan diri untuk mengambil tindakan yang rasional.
b. Health
literacy, dimana pada bidang ini diperlukan upaya pendidikan masyarakat tentang
pengenalan tema-tema dan isu kesehatan tertentu dan terkini, serta memberikan
pelatihan sehingga masyarakat yang sudah memahaminya mampu dan mau
mengkomunikasikan kepada anggota masyarakat lain. Sebagai contoh masyarakat
mulai diperkenalkan dengan penyakit-penyakit akibat gaya hidup, misalnya akibat
merokok, akibat minum minuman keras, akibat menyalahgunakan narkotika, dan
isu-isu lain.
Dengan demikian,
sebenarnya pemberdayaan adalah suatu proses membantu memperkuat kemampaun
masyarakat, sehingga menjembatani jarak komunikasi antara petugas (provider)
dan kelompok sasaran ( target audiences/ communities). Hal ini sangat
diperlukan mengingat sifat dasar dari
promosi kesehatan maupun pendidikan kesehatan yang cenderung bersifat top-down.
2.4
Langkah-langkah
Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari dua sudut
pandang, yaitu sebagai proses dan sebagai
hasil. Sebagai hasil, pemberdayaan masyarakat adalah suatu perubahan
yang signifikan dalam aspek sosial politik dalam aspek sosial politik yang
dialami oleh individu dan masyarakat, yang seringkali berlangsung dalam
waktu yang cukup panjang, bahkan
seringkali lebih dari 7 tahun (Raeburn,1993).
Sebagai suatu proses, Jackson (1989), Labonte
(1994), dan Rissel (1994) mengatakan, pemberdayaan masyarakat melibatkan
beberapa komponen berikut, yaitu:
a. Pemberdayaan
personal.
b. Pengembangan
kelompok kecil.
c. Pengorganisasian
masyarakat.
d. Kemitraan.
e. Aksi
sosial dan politik.
Dengan demikian,pemberdayaan masyarakat mempunyai
spektrum yang cukup luas,meliputi jenjang sasaran yang diberdayakan (level of
objects), kegiatan internal masyarakat/komunitas maupun eksternal berbentuk
kemitraan (partnership) dan jejaring (networking) serta dukungan dari atas
berbentuk kebijakan politik yang mendukung kelestarian pemberdayaan.
Untuk itu maka pemberdayaan masyarakat dapat
dilakasanakan dengan mengikuti langkah-langkah:
1. Merancang
keseluruhan program, termaksud didalamnya kerangka waktu kegiatan,ukuran
program,serta memberikan perhatian kepada kelompok masyarakat yang
terpinggirkan.Perancangan program dilakukan menggunakan pendekatan
partisipatoris, dimana antara agen perubahan (pemerintah dan LSM) dan
masyarakat bersama-sama menyusun perencanaan. Perencanaan partisipatoris
(participatory planning) ini dapat mengurangi terjadinya konflik yang muncul
antara dua pihak tersebut selama program berlangsung dan setelah program
dievaluasi.Sering terjadi apabila sutu kegiatan berhasil, banyak pihak bahkan
termaksud yang tidak berpartisipasi, berebut saling claim tentang peran diri
maupun kelompoknya. Sebaliknya jika program tidak berhasil, individu maupun
kelompok bahkan yang sebenarnya berkontribusi atas kegagalan tersebut, saling
menyalahkan.
Perencanaan
program pemberdayaan masyarakat harus memperhatikan adanya kelompok masyarakat
yang terpinggirkan (termarginalisasi). Marginalisasi adalah sutu proses sejarah
masyrakat yang kompleks,yang membuat mereka tidak memiliki kemampuan untuk
memenuhi berbagai kebutuhannya, tidak mempunyai akses yang memadai terhadap
sumber daya. Oleh karenanya, untuk menghindari agar ini tidak semakin
terpinggirkan, diperlukan perencanaan yang lebih komprehensif.
2. Menetapkan
tujuan. Tujuan promosi kesehatan biasanya dikembangkan pada tahap perencanaan
dan bisanya berpusat pada mencegah penyakit,mengurangi kesakitan dan kematian
dan manajemen gaya hidup melalui upaya perubahan perilaku yang secara spesifik
berkaitan dengan kesehatan. Adapun tujuan pemberdayaan biasanya berpusat bagaimana
masyarakat dapat mengontrol keputusannya yang berpengaruh pada kesehatan dan
kehidupan masyarakatnya.
3. Memilih strategi pemberdayaan. Pemberdayaan
masyarakat adalah suatu proses yang terdiri dari lima pendekatan, yaitu:
pemberdayaan, pengembangan kelompok kecil, pengembangan dan penguatan
pengorganisasian mayrakat, pengembangan dan penguatan jaringan antarorganisasi,
dan tindakan politik. Strategi pemberdayaan meliputi: pendidikan masyarakat,
mendorong tumbuhnya swadaya masyarakat sebagai pra-syarat pokok tumbuhnya
tanggung jawab sebagai anggota masyarakat (community responsibility),
fasilitasi upaya mengembangkan jejaring antar masyarakat, serta advokasi kepada
pengambil keputusan (decision maker).
4. Implementasi
strategi dan manajemen.Implementasi strategi serta manajemen program
pemberdayaan dilakukan dengan cara: a.meningkatkan peran serta pemercaya
(stakeholder), b.menumbuhkan kemampuan pengenalan masalah, c. mengembangkan
kepemimpinan local, d.membangun keberdayaan struktur organisasi, e. meningkatkan
mobilisasi sumber daya, f. memperkuat kemampuan stakeholder untuk “bertanya
mengapa?”, g. meningkatkan control stakeholder atas manajemen program, dan h.
membuat hubungan yang sepadan dengan pihak luar.
5. Evaluasi
program.Pemberdayaan masyarakat dapat berlangsung lambat dan lama, bahkan boleh
dikatakan tidak pernah berhenti dengan sempurna. Sering terjadi, hal-hal
tertentu yang menjadi bagian dari pemberdayaan baru tercapai beberapa tahun
sesudah kegiatan selesai.Oleh karenanya, akan lebih tepat jika dievaluasi
diarahkan pada proses pemberdayaannya daripada hasilnya.
2.5
Pemberdayaan
Masyarakat Dan Partisipasi
Pemberdayaan
dapat didefinisikan sebagai:
a. To
give power or authority (memberikan kekuasaan, mengalihkan kekuatan, atau
mendelegasikan otoritas ke pihak lain).
b. To
give ability to or enable (upaya untuk memberikan kemampuan atau keberdayaan).
Mendelegasikan
wewenang pada hakikatnya adalah memberikan kepercayaan kepada orang/ pihak lain yang kita anggap cukup
mempunyai kemampuan. Pendelegasian bukan suatu kegiatan yang dapat dilakukan
tanpa pemikiran yang matang. Orang diberikan wewenang ditetapkan berdasarkan
kriteria tertentu yang ketat, sehingga
pendelegasian tidak menyebabkan terganggunya pekerjaan secara keseluruhan.
Pemberdayaan
adalah suatu proses aktif, dimana masyarakat yang diberdayakan harus berperan
serta aktif (berpartisipasi) dalam berbagai kegiatan. Dengan demikian nantinya
masyarakat akan mempunyai pengalaman aktual, yang sangat bermanfaat untuk
mengembangkan program sejenis dimasa mendatang.
Partisipasi
adalah peran serta aktif anggota masyarakat dalam berbagai jenjang kegiatan. dilihat
dari konteks pembangunan kesehatan,partisipasi adalah keterlibatan
masyarakat yang diwujudkan dalam bentuk
menjalin kemitraan diantara masyarakat dan pemerintah dalam perencanaan, implementasi
dan berbagi aktifitas program kesehatan, mulai dari pendidikan kesehatan, pengembangan
program kemandirian dalam kesehatan, sampai dengan mengontrol perilaku
masyarakat dalam menanggapi teknologi dan infrastuktur kesehatan.
Studi
Heller (1971) terhadap 260 orang eksekutif bisnis menunjukan bahwa partisipasi
memberikan beberapa manfaat , diantaranya:
1. Meningkatkan
kualitas teknis dari pengambilan keputusan.
2. Meningkatkan
kenyamanan.
3. Mengkatkan
komuniksi.
4. Memberikan
katihan kepada bawahan.
5. Memfasilitasi
perubahan.
Dengan
demikian dapat dirumuskan adanya tiga dimensi partisipasi,yaitu:
a. Keterlibatan
semua unsure atau keterwakilan kelompok [group representation] dalam proses pengambilan keputusan. namun
mengingat sulitnya membuat peta pengelompokan masyarakat ,maka cara paling
mudah pada tahap ini adalah mengajak semua anggota masyarakat untuk mengikuti
tahap ini.
b. Kontribusi massa sebagai pelaksana /implementor dari
keputusan yang diambil, ada tiga kemungkinan
reaksi masyarakatyang muncul, yaitu: a.secara terbuka menerima keputusan dan
bersedia melsaksanakan, b. secara terbuka menolaknya, dan c. tidak secara
terbuka menolak, namun menunggu
perkembangan yang terjadi.Meskipun demikian, mengambil keputusan harus terus
menerus mendorong agar semua pihak bersikap realistis,menerima keputusan secara
bertanggung jawab, serta secara bersama
sama menanggung risiko dari keputusan tersebut.Hal ini harus disadari,karena
program program yang diputuskan adalah
program yang ditujukan untuk masyarakat, oleh karenanya pelaksanya juga
masyarakat.
c. Anggota
masyarakat secara bersma sama menikmati hasil dari program yang
dilaksanakan.bagian ini penting,sebab sering terjadi karena merasa berjasa, ada
pihak tertentu menuntut bagian manfaat yang paling besar.Oleh karenanya,pada
tahap ini perlu ada keselarasan antara asas pemerataan dan asas keadilan.
Cary
(1970) mengatakan, bahwa partisipasi dapat tumbuh jika tiga kondisi berikut
terpenuhi:
a. Merdeka
untuk berpartisipasi, berarti adanya kondisi yang memungkinkan anggota-anggota masyarakat
untuk berpartisipasi.
b. Mampu
untuk berpartisipasi,adanya kapasitas dan kompetensi anggota masyarakat
sehingga mampu untuk memberikan sumbang saran yang konstruktif untuk program.
c. Mau
berpartisipasi, kemauan atau kesediaan anggota masyarakat untuk berpartisipasi
dalam program.
Ketiga
kondisi itu harus hadir secara bersama-sama.Apabila orang mau dan mampu tetapi
tidak merdeka untuk berpartisipasi,maka orang tidak akan berpartisipasi.
Menurut
Ross (1960),terdapat tiga prakondisi tumbuhnya partisipasi,yaitu:
a. Mempunyai
pengetahuan yang luas dan latar belakang yang memadai sehingga dapat
mengidentifikasi masalah,prioritas masalah dan melihat permasalahan secara
komprehensif.
b. Mempunyai
kemampuan untuk belajar cepat tentang permasalahan,dan belajar untuk mengambil
keputusan.
c. Kemampuan
mengambil tindakan dan bertindak efektif.
Batasan
Ross di atas sebenarnya menuntut prasyarat bahwa orang-orang yang akan
berpartisipasi harus memenuhi persyaratan tertentu,yaitu kompetensi kognisi
tertentu.Pendapat ini mungkin cocok diterapkan pada kelompok masyarakat yang
cukup cerdas, namun mengandung banyak kelemahan apabila diterapkan pada
masyarakat yang “agak terbelakang”.
Menurut
Chapin (1939), partisipasi dapat diukur dari yang rendah sampai yang tertinggi,
yaitu:
a. Kehadiran
individu dalam pertemuan-pertemuan.
b. Memberikan
bantuan dan sumbangan keuangan.
c. Keanggotaan
dalam kepanitiaan kegiatan.
d. Posisi
kepemimpinan.
Berdasarkan
teori Chapin, maka partisipasi yang tertinggi dilakukan oleh pemimpin.Meskipun
terlihat agak kontroversial, namun bisa dapat dipahami,karena dal;am konteks
kepemimpinan,walaupun jumlahnya paling sedikit,pemimpin menentukan
keberhasilanorganisasi.
Apabila
dilihat dari subjek partisipasi, Sanders (1958) membedakannya menjadi:
a. Pemimpin-pemimpin
lokal,adalah tokoh masyarakat dan pemimpin formal dan non formal yang mempunyai
pengaruh besar dal;am mengambil keputusan dan mendorong anggota masyarakat
untuk melaksanakannya.
b. Penduduk
yang profesional, adalah penduduk setempat yang mempunyai kemampuan tertentu
yang dapat dimanfaatkan untuk menunjang pelaksanaan kegiatan.
c. Pihak
luar yang profesional, adalah pihak-pihak diluar kelompok masyarakat, yang
diminta maupun tidak, memberikan bantuan untuk kelancaran kegiatan program.
d. Pekerja
serbaguna pengembangan masyarakat yang mempunyai komitmen kuat atas kemajuan
masyarakat,serta senantiasa membantu dan melaksanakan berbagai program yang
ada.
Keterbukaan
(inclusive) akan sangat membantu terutama dalam konteks keterbatasan
diri,maupun implementasi kemitraan (partnership).
Selanjutnya
Sutton dan Kolaja (1960), membagi peran-peran dalam partisipasi program menjadi
tiga, yaitu:
1. Pelaku,
adalah pihak yang mengambil peran dan tindakan aktif dalam program.
2. Penerima,
adalah pihak yang nantinya akan menerima manfaat dari program yang dijalankan.
3. Publik,
adalah pihak yang tidak terlibat secara langsung dalam pelaksanaan
program,tetapi dapat membantu pihak pelaku.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Empowerment
yang dalam bahasa Indonesia berarti
“pemberdayaan”, adalah sebuah konsep yang lahir sebagai bagian dari
perkembangan alam pikiran masyarakat kebudayaan Barat, utamanya Eropa. Memahami
konsep empowerment secara tepat harus memahami latar belakang
kontekstual yang melahirkannya. Konsep empowerment mulai nampak sekitar
dekade 70-an dan terus berkembang hingga 1990-an. (Pranarka &
Vidhyandika,1996).
Pranarka
& Vidhyandika (1996) menjelaskan bahwa ”proses pemberdayaan mengandung dua
kecenderungan. Pertama, proses pemberdayaan yang mene-kankan pada proses
memberikan atau mengalihkan sebagian kekuatan, kekuasaan atau kemampuan kepada
masyarakat agar individu lebih berdaya. Kecenderungan pertama tersebut dapat
disebut sebagai kecenderungan primer dari makna pemberdayaan. Sedangkan
kecenderungan kedua atau kecenderungan sekunder menekankan pada proses
menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau
keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses
dialog”.
Promosi
kesehatan adalah suatu proses membantu individu dan masyarakat meningkatkan
kemampuan dan keterampilannya guna mengontrol berbagai faktor yang berpengaruh
pada kesehatan, sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatannya (WHO). Promosi
kesehatan adalah kombinasi pendekatan pendidikan kesehatan dan pendekatan
organisasi, ekonomi, lingkungan yang seluruhnya mendukung terciptanya perilaku
yang kondusif dengan kesehatan (Mee Lian,1998). Hubley (2002) mengatakan, bahwa
pemberdayaan kesehatan (health empowerment), melek (sadar) kesehatan (health
literacy) dan promosi kesehatan (health promotion) diletakkan dalam kerangka
pendekatan yang komprehensif.Pemberdayaan didiskusikan dalam kerangka bagaimana
mengembangkan kemampuan penduduk untuk menolong didrinya sendiri (self-eficacy)
dari teori belajar sosial.
Sangat bermanfaat sekali. Silahkan juga kunjungi
BalasHapus1. Pengertian dan Fungsi Pokok Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Desa (PNPM Desa) Menurut Para Ahli lengkap dengan Daftar Pustakanya
2. Definisi Pembangunan Desa Menurut Para Ahli lengkap dengan Daftar Pustakanya
3. Ciri-ciri Dan Prinsip Pembangunan Desa Menurut Para Ahli lengkap dengan Daftar Pustakanya
4. Kumpulan materi pelajaran SD, SMP, SMA, tugas sekolah lengkap dengan jawaban dan materi perkuliahan (www.materibelajar.id)
Saya Miluliua lius dari Indonesia, saya menggunakan Covid-19 Virus kali ini untuk memperingatkan semua kolega, saudari dan saudara lelaki saya di Indonesia. Yang mencari pinjaman, Anda hanya harus berhati-hati. Satu-satunya tempat dan perusahaan yang dapat menawarkan kepada Anda pinjaman asli adalah RIKA ANDERSON PINJAMAN DAN PERUSAHAAN PERDAGANGAN FOREX. Saya mendapat pinjaman dari mereka pada bulan April 2020 ini. Mereka adalah satu-satunya pemberi pinjaman yang sah di internet. Lainnya semua pembohong, saya menghabiskan hampir 4 juta di tangan pemberi pinjaman palsu.
BalasHapusTapi ibu RIKA ANDERSON mengembalikan impian saya. Ini adalah alamat email asli mereka: Email: rikaandersonloancompany@gmail.com
Whatsapp +1(323)689-3663.
Anda dapat berbicara dengan saya kapan saja Anda mau. Terima kasih semua untuk mendengarkan permintaan saya untuk saran.
Email: Miluliualius@gmail.com
Assalamualaikum, Nama saya Carkem Anwari dari sebuah kota kecil di Bandung, Indonesia Saya sangat senang bahwa saya mendapat pinjaman pertama dari Rabacca Alma Loan dan kali ini saya mendapat pinjaman Rp30,000,000 juta. Saya secara finansial turun karena pandemi Covid-19 dan saya tidak dapat menjalankan bisnis kecil saya. Semua pujian ditujukan kepada ALLAH, saya mendapat pinjaman Rp30 juta dari RBACCA ALMA LOAN COMPANY semoga ALLAH memberkati mereka semua, saran saya kepada mereka yang mencari pinjaman di situs ini adalah mereka harus berhati-hati karena ada banyak pemberi pinjaman pinjaman palsu, REBACCA ALMA LOAN COMPANY adalah salah satu pemberi pinjaman online terbaik untuk pinjaman 100% garansi, dan Anda dapat menghubunginya melalui:
BalasHapusNama: Rebacca Alma
Telepon: +14052595662
WhatsApp: +14052595662
Instagram: Rebacca Alma
Facebook: Rebacca Alma
email: rebaccaalmaloancompany@gmail.com
Saya baru saja mendapat pinjaman pada Juni 2020 ini
Anda dapat menghubungi saya melalui email saya untuk informasi lebih lanjut carkemanwari1@gmail.com atau nomor whatsapp: +62 81319467810
Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh.